Inspiring Story: Kapten Pierre Tendean


Saya terinspirasi dari Kapten Pierre Tendean untuk menjadi pribadi yg lebih baik, bertanggung jawab dan berkorban untuk orang yg penting dihidup saya.

Menurut beberapa sumber dari yang saya baca, Kapten Pierre Tendean adalah salah satu dari 4 ajudan Jendral AH Nasution dan juga ajudan termuda. Beliau lahir di Batavia pada tanggal 21 Februari 1939 dan wafat pada tanggal 1 Oktober 1965. Ibunya bernama Maria Elizabeth Cornet seorang wanita Indonesia berdarah Prancis sedangkan ayahnya bernama DR. AL Tendean seorang dokter berdarah Minahasa. Beliau adalah anak lelaki satu satunya, dan beliau juga anak tengah. Kakaknya bernama Mitzi, adiknya bernama Rooswidiati. Karena beliau adalah anak lelaki satu satunya, beliau adalah anak kesayangan dikeluarganya. Kapten Pierre sangat perhatian dengan keluarga terutama kepada ibundanya.

Kapten Pierre Tendean bersekolah di Semarang sampai lulus SMA. Prestasi dan nilai-nilainya sangat bagus terutama di bidang bahasa asing seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Jadi tentara memang pilihan hidup beliau. Setelah lulus SMA, beliau melanjutkan ke Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) dan menggegerkan wanita-wanita di Bandung karna paras beliau yg tampan dan paras kebule-bulean yg diwariskan oleh sang ibunda.

Tahun 1962, beliau lulus di ATEKAD dan menyandang pangkat Letnan Dua. Jabatan pertamanya sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2/Kodam II di Medan. Saat persiapan Dwi Komando Rakyat, konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris, dia ditugaskan mengikuti sekolah intelijen di Bogor. Beliau ditugaskan di garis depan dan menyusup ke Singapura dan Johor menyamar sebagai turis. Dengan postur seperti bule, imigrasi tak curiga pria ini sebenarnya intelijen yg sedang mengumpulkan data. Tugas menantang bahaya seperti inilah yg disukai beliau. Namun sang ibu selalu khawatir dan meminta anaknya tak lagi bertugas di garis depan. Akhirnya beliau menerima tugas sebagai ajudan Menhakam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution.

Baru enam bulan bertugas, terjadilah tragedi maut G30S. Sekelompok tentara Tjakrabirawa menerobos masuk ke kediaman Jenderal Nasution. Ironisnya, harusnya saat itu bukan jam piket Kapten Pierre. Beliau berencana pulang ke Semarang untuk merayakan hari ulang tahun ibunya yang jatuh tepat pada tanggal 30 September. Pada sore hari itu, dia berencana langsung pulang namun keluarga Nasution mencegah beliau pulang karena kurang aman apabila pulang malam-malam. Akhirnya beliau bermalam dirumah kediaman Nasution malam itu dan berencana pulang esok pagi.

Malam itu, beliau terbangun karena mendengar suara ribut-ribut. Beliau mengenakan jaket dan keluar sambil membawa senapan. Tak jelas, dimana ajudan pengganti yg seharusnya bertugas menggantikan beliau pada malam itu.

"Siapa di sana. Letakkan senjata!" bentak para penculik menodongkan senjata.

"Saya Nasution" ujar Kapten Pierre kepada para penculik. Beliau berkorban demi keluarga Nasution.

Jenderal Nasution menyelamatkan diri dengan cara melompat tembok. Kapten Pierre yang dikira para penculik adalah Jenderal Nasution segera diikat dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Disana sudah berkumpul tentara dan pemuda rakyat pendukung Gerakan 30 September.

Kapten Pierre didudukkan paksa dengan perlawanan sekuat tenaga dan kemudian ditembak empat kali dari belakang. Jenazah Kapten Pierre dimasukkan paling akhir ke sumur tua itu. Usia Kapten Pierre baru 26 tahun saat dibunuh. Beliau menjadi menjadi korban termuda dan satu-satunya perwira pertama yg menjadi korban penculikan.

Hikmah yg dapat saya ambil dari kisah Kapten Pierre Tendean adalah saya harus bisa bertanggung jawab dan mengorbankan diri saya untuk orang yg penting bagi hidup saya seperti kejadian saat Kapten Pierre Tendean bertanggung jawab atas tugasnya menjadi ajudan walaupun saat itu bukan jam piket beliau dan kejadian saat Kapten Pierre Tendean mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Jenderal AH Nasution dan keluarga.

0 komentar: